Kelulusan UN 2011


Kelulusan Ujian Nasional 2011, Tantangan atau Dilema bagi Guru dan Sekolah
Fakta Ujian Nasional
Ujian Nasional (UN) tidak hanya membuat siswa resah tetapi juga orang tua, guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan merasa gelisah. Ada banyak alasan, mulai dari fasilitas lembaga pendidikan yang masih kurang memadai, kualitas guru yang belum merata, maupun kemampuan siswa yang beragam. Kalau sudah begitu, lebih-lebih kalau semua aspek kelemahan tersebut dimiliki oleh lembaga pendidikan tertentu, tidak ada jalan lain kecuali melakukan kecurangan. Dalam hal ini kecurangan mudah dikondisikan karena ternyata banyak pengawas UN yang sekolahnya mengalami kondisi yang serupa, menjadikan mereka bekerja sama dengan baik untuk melakukan kecurangan secara berjamaah. Setidaknya hal ini sudah ada sejak digulirkan pada tahun 2005.
Dengan bahasa lain versi mereka, ini adalah cara mensukseskan UN dengan tanpa ada yang tersakiti karena tidak lulus. Sehingga, siswa pun tidak terkejut kalau pada hari pelaksanaan ujian nasional, siswa mudah mendapatkan jawaban, jadi tidak usah susah-susah mikir. Toh, guru tidak ingin siswanya gagal dan sekolah tidak ingin dicap sebagai sekolah yang tidak berkualitas karena tidak meluluskan siswanya 100%.
UN tahun 2011 ini menggunakan formula baru dengan memasukkan 60% UN dan 40% nilai sekolah sebagaimana Permendiknas nomor 45 tahun 2010. Namun begitu,  sebagian sekolah masih kesulitan, terutama di daerah ’pinggiran’, sehingga kecurangan masih mengancam. Kecurangan bisa berupa mengubah nilai rapor ataupun membantu jawaban siswa dalam UN. Terlebih lagi, di daerah tertentu masih banyak sekolah yang senasib, belum siap UN karena banyak faktor.
Kalau sudah terjadi banyak kecurangan, tentu UN menjadi kurang bermanfaat. Lebih-lebih nurani dan keteladanan guru serta kepala sekolah yang telah tergadaikan oleh kecurangan demi kelulusan siswa, demi kredibilitas sekolah, dan demi keberhasilan ujian nasional di kabupaten dan wilayah provinsi. Tentunya tidak logis kalau stakeholder tetap menutup mata atas kecurangan yang terjadi. Lebih dari itu, nilai pendidikan karakter, tanggung jawab moral, serta kreativitas siswa haruslah tetap menjadi prioritas utama bangsa ini.
Faktor Mendasar
Kenyataannya faktor mendasar yang menjadikan kondisi tidak wajar ini adalah disparitas antara kebijakan pusat dengan realitas di daerah. Pemerintah menganggap kualitas sekolah sudah sama. Padahal, kenyataannya kondisi sekolah di perkotaan dan di pedesaan berbeda. Di samping itu, hasil UN sebagai ketentuan lulus menjadikan kepanikan tersendiri. Bagaimana tidak, sekolah yang 3 tahun ditentukan hanya dalam 4 hari saja. Di samping itu, secara tidak langsung menyisihkan pelajaran lain yang tidak di-UN-kan. Padahal, setiap siswa mempunyai keinginan dan kemampuan yang berbeda-beda (multiple intelegensia) dan dalam pembelajaran ada aspek afektif dan psikomotorik. Semestinya hal itu bisa menjadi evaluasi tersendiri bagi Kemendiknas.
Dilema  Guru dan Sekolah
Setiap guru mempunyai kemampuan berbeda-beda, ada yang bisa menyampaikan materi pelajaran dengan baik dan ada pula yang kurang. Namun, dalam menghadapi UN guru yang baik harus menjunjung nilai moral dan kejujuran. Ketika ada banyak sekolah yang kehilangan kepercayaan dari masyarakat karena tidak meluluskan siswanya, guru dan sekolah pasti akan mendapat risiko kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan mungkin sanksi dari atasan. Ini pula yang perlu mendapat perhatian.
Lebih dari itu, yang paling tahu kualitas dan kemampuan siswa adalah guru dan sekolah setempat. Namun demikian, optimisme untuk pendidikan harus selalu ada.
Solusi yang memungkinkan adalah
  1. Apabila UN dilaksanakan sebagaimana Permendiknas nomor 45 tahun 2010, maka guru bisa melatih siswa untuk mengerjakan soal yang sekualitas soal UN berulang-ulang atau sampai siswa paham dengan model soal UN. Semakin banyak berlatih soal semakin baik karena sebenarnya siswa yang pandai mengerjakan soal UN biasanya juga karena sering berlatih. Bila perlu PBM di kelas IX atau XII dikurangi dan diganti dengan latihan model soal UN.
  2. Perlu evaluasi ulang apakah UN sudah efektif atau belum di tengah kecurangan yang malah merusak pendidikan. Dari hasil evaluasi menyeluruh (menyangkut guru, siswa, dan fasilitas sekolah) bisa ditentukan layak tidaknya UN dilanjutkan atau mungkin UN cukup dijadikan alat pengukur mutu pendidikan nasional saja, bukan penentu kelulusan siswa.
  3. Mengembalikan otonomi sekolah untuk mendidik dan menilai siswanya. Tentu yang dibutuhkan adalah dorongan nyata peningkatan kualitas guru dan akreditasi sekolah yang kredibel dan akuntabel. Bila sudah demikian, siswa pun bisa diharapkan menjadi generasi yang lebih baik, lebih bermoral, dan lebih kreatif di masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WRITERVATOR FIM 2023

EVALUASI FLS2N 2023 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MOJOKERTO