Post Power Syndrome
Mendapat suatu jabatan atau kekuasaan yang tinggi, terhormat merupakan cita-cita semua orang. Tak dapat dipungkiri dengan alasan mulia dan suci maupun alasan materi semata seseorang mencari jabatan yang terhormat. Itu manusiawi karena memang setiap orang berpotensi untuk menjadi pemimpin di lembaga formal maupun nonformal, memegang jabatan tertinggi di lembaga atau organisasi masing-masing. Namun, tidak semua bisa menduduki jabatan yang diinginkan. Di antara yang mendapatkan jabatan, memimpin di wilayah kerja tertentu, yang strategis atau bahkan prestisius, tidak semua yang bisa menjalankan dengan baik. Di antara sekian orang yang berhasil menjadi pemimpin, leader yang efektif, tidak semua yang mampu menjadikan hidupnya lebih baik setelah mengakhiri masa jabatannya. Hal itu disebabkan jabatan yang dilaksanakan tersebut menjadikan dirinya menganggap telah menempuh karier tertingginya, dan selanjutnya harus turun jabatan yang lebih rendah lagi yang menjadikannya tidak siap secara mental menerima keadaan tersebut. Bahkan, bisa lebih dari itu, tidak memegang jabatan sama sekali menjadikan ia seolah-olah pengangguran.
Kondisi seperti itu menjadikan seseorang merasa tidak berharga, tidak bersemangat, emosional, labil dan sering marah atau tidak dapat mengendalikan diri. Bahkan, ketika tidak dapat mengendalikan kondisi tersebut bisa jadi berdampak pada kondisi fisik berupa penyakit yang mendera. Keadaan inilah yang disebut post power syndrome. Sebagaimana yang disebutkan oleh para penulis lain bahwa pengertian post power syndrome adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala seseorang turun dari kekuasaan atau jabatan tinggi yang dimilikinya sebelumnya. Kondisi tersebut tidak sama satu dengan lainnya, tergantung kedewasaan dan cara menyikapi keadaan tersebut. Apabila disikapi dengan baik maka tidak akan berdampak negatif pada dirinya. Namun, ketika salah dalam menyikapi maka akan berdampak komplikatif.
Salah satu hal yang menyebabkan post power syndrome berdampak negatif pada diri seseorang adalah ketidaksiapan dalam menyiapkan mental bahwa jabatan yang dipegang adalah amanah, adalah titipan. Seseorang yang mengalami post power syndrome tersebut sebelumnya ketika menjalankan tugasnya dengan sangat baik dan menuai kesuksesan ia beranggapan bahwa itu adalah hasil kerja kerasnya dan tidak semua orang bisa melaksanakan itu. Hal tersebut berlangsung selama beberapa waktu dan berulang-ulang. Sehingga menjadi sebuah pola pikir bahwa semua itu adalah hasil kerjanya. Padahal, kalau dilihat lebih dekat siapapun dan di manapun seorang pemimpin tidak akan pernah mendapat keberhasilan tanpa dukungan dari rekan kerja, anak buah, ataupun rakyat yang dipimpin, baik dengan rela maupun terpaksa. Tidak ada kesuksesan tanpa adanya dukungan yang lain. Tidak ada pimpinan yang sukses dengan berjalan sendiri, pasti ada yang membantunya, pasti ada yang mengiringkan langkahnya.
Dengan menyadari keterlibatan orang lain tersebut seseorang yang dalam posisi memegang posisi puncak akan menyadari hakikat sebuah jabatan, yaitu amanah yang dititipkan padanya.
Solusi yang bisa ditempuh untuk mengatasi post power syndrome yang adalah:
1) Memandang jabatan adalah sebuah amanah yang diberikan orang lain padanya. Atau jabatan yang dipinjamkan Tuhan pada seseorang yang mana ia harus menjaganya dan akan ada pertanggungjawabannya. Namanya amanah bukan miliknya, pasti akan diambil oleh yang punya pada suatu saat. Dengan menyadari arti sebuah amanah seseorang akan menjalankan dengan baik, akan menjaganya, ia akan menjadi perwakilan yang baik dan menjadi perpanjangan dari tangan-Nya untuk berbuat baik pada orang lain. Dengan begitu, penyelewengan tidak akan terjadi. Kesombongan akan jabatan tidak akan bercokol dalam hati. Yang ada adalah menjalankan dan mengelola wilayah kerja dengan baik, dengan penuh tanggung jawab.
2) Ikhlas. Ketika seseorang diberi jabatan sebagai pimpinan ataupun jabatan strategis lainya milikilah sikap yang ikhlas. Sikap ikhlas ini perlu ditumbuhkan dengan mewujudkan dalam sikap yang egaliter bukan militer, demokratis bukan otoriter, total manajemen yang open manajemen pada jajaran dengan begitu semua bisa melihat dan belajar dari keberhasilan sebuah kepemimpinan. Sikap ikhlas juga diwujudkan dengan mewujudkan kaderisasi kepemimpinan yang baik. Artinya, menyadari bahwa suatu jabatan itu tidak akan dipegang terus, suatu saat harus digantikan kepada yang lain. Dan seorang pemimpin yang ikhlas mengupayakan munculnya kader-kader pemimpin baru yang siap menggantikannya. Sebagaimana yang dicontohkan Kiai Luthfi dalam Ketika Cinta Bertasbih, ketika ada orang baru, yang lebih muda (Azzam) yang menggantikan posisinya ternyata lebih baik darinya, maka ia merasa bersyukur dan bahagia.
3) Menjadikan keluarga sebagai tolok ukur kemampuan diri. Setiap orang mempunyai posisi tertentu dalam keluarga. Di dalam keluarga dan diri sendiri terdapat potensi yang besar untuk selalu berkaca dan belajar karena pada dasarnya setiap orang bertanggung jawab pada diri sendiri dan keluarga. Dalam keluarga juga terdapat pengertian, kasih sayang dan dorongan untuk yang lain. Dengan menjadikan keluarga sebagai tempat untuk selalu belajar bersikap yang benar, yang semestinya sesuai porsinya, akan menjadikan seseorang terbiasa menyikapi keadaan dengan positif pula.
Dengan memperhatikan hal tersebut, pemimpin atau calon pemimpin akan memiliki sikap yang positif terhadap suatu jabatan. Sehingga dampak negatif yang sering terjadi bisa diminimalisisi.
Komentar
Posting Komentar