Peleburan Pancasila menjadi Kewarganegaraan Benarkan Langkah Penyederhanaan?

Perubahan Istilah Pancasila dan Kewarganegaraan
Pendidikan Pancasila sering diperbincangkan baik di tataran elit politik maupun masyarakat dan dunia pendidikan. Pembicaraan masalah pancasila lebih menarik karena ada kekhawatiran mulai lunturnya makna dan praktik pengamalan pancasila di tengah masyarakat. Jangan sampai pancasila yang dulu melewati proses sejarah yang  panjang dan heroik  sekarang tinggal nama dan simbol belaka yang tak memiliki makna dan esensi praksis.
Dilihat dari sejarahnya, pengajaran pancasila di Negara kita mengalami perjalanan panjang dan perubahan istilah yang digunakan. Perubahan-perubahan tersebut sangat berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu dan kurikulum sekolah yang digunakan. Pada kurikulum 1957 istilah yang digunakan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian pada kurikulum 1961 berubah menjadi CIVICS, kemudian pada kurikulum 1968 menjadi Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Selanjutnya kurikulum 1975 menjadi PMP. Pada kurikulum 1994 berubah lagi menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Dan sekarang kembali menjadi PKn. Perubahan-perubahan istilah mata pelajaran PKn atau Civics di kalangan sekolah dasar dan menengah tersebut di atas, juga terjadi di kalangan Perguruan Tinggi di Indonesia. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan) sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, beberapa bentuk pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi telah lama dilakukan seperti : penataran P-4 dan mata kuliah Kewiraan yang kemudian berganti dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). (Shofiatul Azmi dalam http:/fkip.wisnuwardhana.ac.id/)
Esensi Pengajaran Pancasila dan Kewarganegaraan
Pancasila menjadi bagian penting dari bangsa ini karena merupakan salah satu dari 4 pilar kebangsaan ( Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Pancasila menjadi salah satu penopang penting kokohnya bangsa Indonesia. Terlepas dari  riak kecil perdebatan  dari bagian sila pancasila, pancasila memiliki tempat dan bagian tersendiri dari perjalanan panjang bangsa  serta memiliki peran penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Karena pancasila diwujudkan dan diserap dari budaya bangsa yang telah disusun secara maksimal.
Di era Bung Karno Pancasila menjadi kebanggaan. Di era Pak Harto, pancasila diwajibkan di setiap kesempatan yang begitu dekat dengan kehidupan masyarakat. Di era reformasi ini, ia dipandang kurang penting. Benarkah demikian? Kalaupun ada yang berpendapat demikian, itu adalah sebentuk kritik dan pendapat terhadap pengajaran pancasila yang perlu dievaluasi, dikembangkan serta disempurnakan. Karena pada dasarnya tidak ada sesuatu yang tetap melainkan selalu dituntut oleh keadaan untuk terus berkembang termasuk pengajaran pancasila/kewarganegaraan. Oleh karena itu, pancasila sebagai salah satu  landasan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia  mempunyai peran yang sangat penting untuk dikembangkan baik di SD, SMP, maupun SMU  bahkan perguruan tinggi.
Ada yang berargumentasi bahwa pengajaran PMP lebih mengedepankan nilai nilai pancasila yang tampak jelas dari butir-butir pancasila berupa gotong-royong, toleransi antar beragama, dan musyawarah. Sedangkan pendidikan kewarganegaraan menekankan pada siswa agar menjadi warga Negara yang patuh dan taat pada hukum yang berujung pada berkurangnya aspek-aspek kecintaan pada Negara. Menurut penulis tidak semata-mata seperti itu untuk menentukan  hasil proses pendidikan di sekolah, termasuk di dalamnya pelajaran PKn.
Tujuan pengajaran PKn adalah untuk menguatkan bangsa, bukan melemahkan. Namun, apabila di tengah perjalanan mengalami kekurangan tentu harus dievaluasi. Guru sebagai pengampu materi kepada siswa berupaya  menyampaikan sebaik-baiknya. Kurikulum dan tujuan pengajaran apabila sulit dicapai juga dievaluasi. Walaupun demikian, ada faktor eksternal yang dominan saat ini yaitu budaya globalisasi. Globalisasi yang kian cepat mendekatkan budaya-budaya asing ke dalam negeri. Terutama dengan dukungan teknologi dan informasi yang serba canggih. Materi pelajaran, termasuk PKn, seolah menjadi kebutuhan kedua bagi siswa setelah teknologi  globalisasi yang seolah menjadi kebutuhan primer siswa saat ini.
Keteladanan menjadi Guru Utama
Siap ataupun tidak, pancasila/kewarganegaraan harus menjawab tantangan budaya globalisasi dengan berbagai upaya. Jangan sampai nilai pancasila sekadar menjadi teori dan jargon semata. Hasil akhir yang dicapai adalah terbentuknya karakter dan kepribadian yang santun sesuai dengan nilai-nilai pancasila. Pengajaran yang sifatnya sejarah dan teoretis dikurangi. Karena yang ditekankan saat ini adalah jiwa pancasila, bukan sekadar tahu pancasila. Juga didukung dengan kegiatan kesiswaan yang lain, sebagai komplementer dan suplemen.
Pancasila harus mewujud dalam keseharian dan mampu mengaktualisasi dalam kehidupan. Siapapun yang lebih tua  mampu menjadi contoh,  baik orang tua maupun pejabat pemerintah, terutama adalah guru. Karena guru merupakan orang tua siswa di sekolah. Guru menjadi teladan utama siswa di sekolah. Apabila guru benar-benar memberi contoh terbaiknya diharapkan akan menjadi teladan utama.
Budaya masyarakat dan media juga harus diperbaiki agar mendukung sila-sila pada pancasila. Budaya yang tidak mendidik melalui musik, film dan acara televise, tempat-tempat hiburan, serta tingkah laku publik figur yang masih negatif harus segera diminimalisasi bahkan dihilangkan. Apabila tidak ada upaya memperbaiki budaya dan media dengan baik tidak mungkin bisa menanamkan nilai pancasila dalam diri siswa kalau hanya mengandalkan guru dan sekolah saja sementara televisi dan media kini menjadi sahabat setia setiap manusia.
Saihur Roif, S.Pd.
Guru SMPN 2 Kutorejo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WRITERVATOR FIM 2023

EVALUASI FLS2N 2023 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MOJOKERTO