cerpen Kursi

Kursi Ayah

Penulis: Zi Muzi
“Yah, Aby berangkat ya...”
Pria di depanku tidak menengok sedikit pun. Hanya pupil matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan tubuhku. Aku mengambil tangannya. Menjabatnya dan kemudian menciumnya. Kemudian aku meletakannya kembali ke atas lengan kursi tempatnya duduk menghabiskan pagi di beranda rumah kami yang sederhana. Ia masih tak bereaksi.
“Aby, kamu pergi naik apa?” Ibu keluar dari dalam rumah dengan semangkuk bubur tepung beras hasil racikannya. Tidak ada bubur oat untuk ayah. Padahal dokter menyarankan agar ayah banyak-banyak makan makanan yang rendah kalori untuk kesehatan jantungnya. Tak apalah, asal ayah makan.
“Nebeng Ihsan, Bu,” jawabku berbohong. Ihsan hari ini tidak masuk sekolah karena dia dan keluarganya pergi berlibur ke luar kota. Asik sekali.
“Kamu nanti langsung pulang ya, By. Jaga ayah. Ibu mau ke pasar. Cari tahu harga kursi roda. Kursi roda ayah sudah minta diganti,”
Aku menoleh ke arah ayah dan kursi rodanya. Kini mereka bagai sahabat yang tak bisa dipisahkan. Yah, ayah sudah struk sejak 6 tahun lalu. Badannya yang dulu kekar dan menyenangkan sebagai tempatku bergelayut manja, kini sudah kering kerontang. Tinggal kulit pucat yang bergelambir di atas tulangnya yang semakin keropos.
Dia masih cukup muda. Kata ibu, usianya belum genap 40 tahun, tapi bagiku dia sudah nampak seperti kakek-kakek berusia 60 tahun. Keadaannya sungguh mengenaskan, dan kursinya pun tak kalah mengenaskan. Bantalnya sudah mengelupas. Busa yang ada di dalamnya pun sudah pergi sedikit demi sedikit tak tahu ke mana. Karat sudah berhasil merambati beberapa bagian dan membuat besi-besi itu keropos. Yang lebih parah lagi, rem rodanya sudah sangat aus. Tentu berbahaya jika membiarkan Ayah sendirian.
Aku menelan ludah. Bukankah itu bukan hal yang mengherankan mengenang keadaan keluarga kami? Semenjak Ayah sakit, ibulah yang menjadi tulang punggung. Ia yang semula hanya ibu rumah tangga biasa tak mampu berbuat banyak. Pesangon dari tempat kerja ayah dia gunakan sebagai modal berjualan nasi di depan rumah. Hasilnya tentu tak banyak. Kami tinggal bukan di kawasan padat penduduk. Tapi kata ibu, jika kami selalu bersyukur, sedikit apapun rejeki itu, pasti akan terasa cukup. Aku hanya menurut, meski kadang batinku selalu berontak. Bagaimana tidak, jika Ihsan tak menjemputku, aku harus berjalan kaki ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh.
“Kok Ihsan belum datang, By? Apa kamunya yang kepagian?” Tanya Ibu seraya menyuapi Ayah dengan kepayahan. Ayah susah membuka mulutnya, dan mungkin sendok yang digunakan Ibu terlalu besar. Biasanya ia akan membutuhkan waktu satu jam untuk menyelesaikan makan paginya dengan sempurna, hingga akhirnya matahari pagi berubah menjadi panas.
“Kita janjian di depan, Bu. Aby berangkat dulu ya... Assalamualaykum.”
“Waalaykumussalam,” tentu, hanya Ibu yang menjawab salamku, tapi dari sorot mata ayah, aku tahu dia juga menjawab salamku.
“Ibu sudah menabung, By. Tapi ternyata belum cukup, ” jawab Ibu ketika aku bertanya tentang uang untuk membeli kursi ayah. Mata ibu mengguratkan kesedihan. Lama ia tak menikmati dunia. Makan seadanya, pakaian seadanya, peralatan khas wanita seadanya, meski di hari-hari besar sekalipun. Tapi ternyata, hidup sederhana selama ini belum juga cukup untuk menukar sebuah kursi untuk ayah.
Kreatkreotckiittttttt..
Kursi yang aku duduki menjerit. Mungkin dia juga iri pada kursi roda ayah yang rencananya sebentar lagi akan diganti.
“Memang masih kurang banyak, Bu?” pertanyaanku diikuti bunyi kursi itu lagi. Kini ibu duduk di sampingku.
Pletak!
Kursi itu sungguh pendengki. Belum juga ibu membeli kursi untuk ayah, dia sudah demo habis-habisan. Kakinya patah. Keropos dimakan rayap. Aku dan ibu langsung berdiri. Aku menatap ibu. Ibu sepertinya berfikir keras.
“Sepertinya kursi ini juga minta diganti, By.” Ibu menatap kursi di depannya yang sudah kehilangan satu kakinya. Aku hanya mengangguk. “Sepertinya seluruh perabotan di rumah ini pun harus diganti, Bu.” Batinku melihat perabotan di ruang tamu yang hanya beberapa buah namun sudah sangat usang.
-oOo-
“Kamu kenapa, By?”
“Eh, tak apa, San,” aku menyembunyikan wajah gundahku.
“Hai, ayolah, Sobat. Sejak aku pulang kemarin wajahmu selalu murung. Apa ada yang terjadi selama aku pergi?”
Aku menggeleng, padahal sebenarnya aku ingin bercerita. Meski aku tak mengharap bantuannya. Mungkin dia dapat memberikan aku solusi. Tapi aku malu.
“Ayolah, Sobat, mungkin saja aku bisa membantumu,”
Dia mendesakku. Bahkan mengancamku tidak akan memberi tumpangan. Aku mengalah. Aku ceritakan keadaan kursi ayah, dan juga kursi-kursi lain di rumahku. Ternyata masalah kursi ini pun sedemikian peliknya bagi keluargaku. Hari ini jika di rumah kami ada tamu, mungkin mereka hanya akan duduk di tikar pandan yang biasanya digunakan ibu untuk sholat, karena lantai rumah kami belumlah dibalut keramik.
“Mungkin di toko barang-barang bekas harganya akan lebih murah, By.” saran Ihsan.
Kenapa aku tak kepikiran. Aku mengangguk ketika dia menawarkan mengantarku ke toko barang-barang bekas di salah satu sudut kota.
-oOo-
“Ibu... Ibu...,” aku berlari riang. Tadi ada kursi roda murah yang aku temukan di toko barang bekas. Kondisinya masih bagus. Pasti ibu akan senang mendengarnya. Tapi sepertinya aku harus mengatakan hal ini di depan banyak orang. Rumahku ramai. Seperti ada sesuatu yang terjadi.
Bibi Onah, tetangga yang rumahnya di samping rumahku, menyambut kedatanganku. Matanya sembab. Dari dalam kamar pun samar-samar aku mendengar suara tangisan.
“Ibu?”
“Yang sabar ya, By. Insya Allah dia sudah tenang di sana.” Bi Onah menepuk pundakku.
Kaki tempatku berpijak seperti terguncang hebat. Aku mencari pegangan. Mungkinkah ayah? Aku pikir, meskipun tubuhnya sudah lama mati, aku belum bisa menerima bahwa aku benar-benar menjadi anak yatim sekarang. Bi Onah membantuku untuk duduk di salah satu kursi sewaan.
Setelah mengantar ayah ke peristirahatannya yang terakhir, baru aku tahu kejadian sebenarnya. Ibu yang bercerita. Air matanya tak berhenti mengalir. Bukan karena ia tak ikhlas dengan kepergian ayah. Tapi ada sebuah gejolak yang memukul jiwanya dengan begitu hebat. Ayah terjatuh dari kursi rodanya yang sudah keropos. Salah satu engsel kursinya patah karena dimakan karat. Kursi reot itu tak bisa lagi menahan berat badan ayah yang sudah tidak seberapa. Jatuhnya tidak terlalu berarti. Tapi entahlah, mungkin Allah sudah mentakdirkan dia untuk pergi.
“Mungkin karena ibu tak mampu membeli kursi roda baru untuk ayah, Allah mengambil alih tugas itu. Mungkin kini Allah sudah memberi kursi roda terbaik untuk ayah di surga,” katanya. Mungkin ditujukan untuk menghiburku yang juga meneteskan air mata. Tapi sepertinya itu lebih untuk dirinya. Seorang Istri yang selalu berusaha mengabdikan diri pada suami, bagaimanapun keadaannya.
“Ya, semoga, Bu,” jawabku, meski sebenarnya aku ragu, apakah ayah masih membutuhkan kursi roda di surga sana.
-oOo-
Dengan beralaskan tikar pandan, aku dan ibu menatap layar kaca berukuran 14 inci yang sudah berumur puluhan tahun. Kata ibu, sejak aku lahir, ayah sudah membelikannya. Saat itu keadaan ekonomi kami sedang baik-baiknya. Ayah baru saja naik pangkat. Dari karyawan biasa menjadi asisten manajer. Makanya masih dua warna. Hitam dan putih.
Kami sedang melihat acara berita. Hujan tahun ini seperti biasanya. Masih saja menimbulkan bencana di beberapa daerah. Biasa. Tapi ada satu berita yang membuat aku dan ibu saling berpandangan. Nyeri. Kursi-kursi baru menempati gedung-gedung mewah itu. Dengan alasan kursi yang lama tidak layak pakai, mereka menggantinya dengan kursi yang didatangkan langsung dari luar negeri. Barang impor, barang mewah. Aku melihat angkanya. Dahsyat sekali, bisa membeli kursi ayah beberapa biji! Padahal belum tentu kursi-kursi itu dipakai ketika rapat. Pemiliknya tak tahu melancong ke mana.
Oat: gandum kaya vitamin
Annida online.com.15 Feb 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WRITERVATOR FIM 2023

EVALUASI FLS2N 2023 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MOJOKERTO