cerpen

Sandal Bolong
| Penulis: Shine Fikri
“Kembalikan!” Aku melonjak-lonjak menggapai sandalku.
“Tidak akan!” Edi semakin mengacungkan sandal itu. Ia ancang-ancang melemparkan sandal pada temanku, Dani. Dani hanya bisa terbahak melihat aku yang bersusah payah menggapai tangan Edi. Untuk apa? Untuk apa kau bilang? Tentu saja untuk merebut sandal milikku!
Tuiiiing… Sandal itu melayang tinggi… Tinggi sekali… dengan slow motion yang sempurna! Bumipun  bergerak melambat tak seperti biasanya.
Bluk! Sandal terhenti tepat di perut Dani. Edi dan Dani terbahak bukan main. Menertawakan hasil candaan konyol mereka.
“Buang ke tong sampah, Naaan...!” Instruksi Edi dengan teriakannya. Benar-benar gila! Aku tak habis pikir, setega itu mereka padaku.
Dani berlari dengan semangat empat lima. Membawa sandalku dan mencemplungkannya pada tong sampah satu-satunya di Sekolah Dasar-ku.
Grrr... Darahku memompa naik! Mengeluarkan amarah dan merah di wajah. Aku pun berjalan tergesa yang setiap langkahnya diisi oleh dengusan-dengusan sebal. Memuakkaaan! Hatiku menjerit, sempurna.
Kutengok sandal itu, kucari ia di tumpukan-tumpukan sampah. Bau itu bau, namun amarahku, tekadku dan inginku, telah menerobos mengalahkan bau sampah yang menyengat penciumanku. Dan akhirnya, kutemukan ia tergeletak demikian dramastisnya.
Aku menengok pada Edi dan Dani dengan tatapan sinis. Ada gondokan yang mengganjal tenggorakanku, sesak dan dalam. Aku melangkah pulang, tanpa mengatakan sepatah katapun. Keduanya berhadap-hadapan, bengong! Tak menyangka dengan ekspresi kemarahanku.
“Sandal bolong saja masih dipertahankan! Ahahahaha…,” bahak Edi yang diikuti oleh Dani.
“Pulang sana… Minta belikan yang baru pada emakmu!” Katanya dengan nada enteng, seenteng kapas. Aku pun semakin tergesa, melangkahkan kaki dengan kecepatan tinggi, hampir seperti berlari. Ingin segera enyah dari hadapan dua “orang gila” itu. Mereka terbahak dengan suara yang semakin menjauh.
Kalian tak kan pernah mengerti seberapa besar pengorbanan orangtuaku membelikan sandal ini! Isakku dengan hati pecah. Rasanya aku membutuhkan plester untuk menambalnya.
***
“Asyiiik… Sekolah… Sekolah… Sekolah…,” aku melonjak-lonjak ketika dikabarkan Ayah bahwa aku akan sekolah, gratis pula. Bukan main rasanya senang itu tertancap. Ayah dan ibuku tersenyum lebar menyaksikan aku yang begitu kegirangan untuk awal mulanya aku Sekolah. SD impress! Ya, itulah yang nanti akan menjadi tempatku belajar.
“Sudah… sudah… jangan terlalu senang. Dunia ini berputar, jika hari ini senang, besok bukan tidak mungkin sedih. Jadi, biasa saja…,” kakakku mencibirku.
“Ya, Kak,” lirikku. Seketika, aku pun berhenti dari pesta kebahagiaanku. Aku tahu kenapa ia begitu. Karena ia kecewa dengan orangtuaku yang hanya bisa menyekolahkannya sampai SMP. Ia harus menerima kenyataan bahwa ia akan melanjutkan perjuangan seperti ayah dan ibu. Like father like son. Anak tukang kuli, pastinyalah akan menjadi tukang kuli sebagai nasib yang harus diterima.
“Sudah sana tidur, besok pagi-pagi kamu harus sekolah,” Ayah mengelus kepalaku. Ada rasa yang tak biasa, ya, sebuah harapan! Harapan yang tak pernah ia ejawantahkan melalui kata. Hanya gerakan mengelus itulah yang menyiratkan bahwa aku harus berjuang demi sebuah kata perbaikan. Tiba-tiba saja angin membisikkanku tentang rasa semangat. Darahku pun terpompa menjadi semangat 45!
Aku benar-benar tak bisa tidur, tak sabar rasanya menyaksikan hari esok. Menyaksikan kenyataan yang begitu mengasyikan. Aku tersenyum-senyum sendiri, memandang langit-langit kamar penuh pesona sarang spyder.
***
Keesokan harinya, aku bersemangat menyongsong dunia. Bagaikan menantang kehidupan yang selama ini selalu menertawakanku.
Tanganku pun digenggam oleh Ayah. Dia tersenyum menuntunku dengan genggaman penuh semangat. Aku terdiam. Ayah menatapku.
Hening…
Kemudian hanya desahan yang menyiratkan betapa Ayah mengerti akan keinginan dan maksudku.
“Nanti Ayah belikan,” katanya dengan senyum yang dibuat-buat.
“Benarkah?” Aku tersenyum girang. Hanya anggukan yang menjawab semua resahku, menenggelamkan rasa pesimistis hingga berbalik menyerupai optimisme yang begitu mengagumkan.
Aku pun beranjak dan tak mau pusing dengan kondisi bahwa aku harus menelan kenyataan ke sekolah tanpa alas kaki. Tak masalah. Bukankah sekolah yang menjadi tujuan utamaku? Kini, harapan sudah ada di depan mata, pantang bagiku untuk mundur hanya karena permasalahan alas kaki.
Sudah terbiasa dengan gigitan kerikil yang sesekali menghalau langkahku, aku tersenyum membenarkan langkahku. Ini mungkin yang dinamakan perjuangan yang sering disenandungkan orang dewasa.
Tiba di sekolah, kukira aku akan mendapatkan penyambutan istimewa. Faktanya? Sebaliknya! Mata yang memandang adalah mata penuh keangkuhan yang memandang remeh dari ujung kepala hingga ujung kakiku, terlebih ketika mata mereka tertuju pada kakiku yang tak mengenakan alas, semburan tawa mereka hampir saja membuncah tak tertahan.
“Kenapa?” Dengan nada heran aku pun memberanikan bertanya.
“Mau sekolah atau mau kuli sawah?” Katanya dengan kurang ajar.
“Heh...,” belum aku melanjutkan amarah. Ayah menyetop tanganku dan membungkam mulutku dengan tangannya. Menggapaiku dan mendudukkanku di atas pangkuannya.
“Ssssttt… sudah jangan begitu. Biarkan…,” Ayah menasihatiku.
“Tapi… tapi… Yah…,” Dia menggeleng padaku dan menghentikan penjelasanku. Aku pun lebih menuruti Ayah daripada melayani makhluk angkuh seperti mereka.
 Sambutan kepala sekolah berbadan tambun itu pun dimulai. Membacakan peraturan sekolah dasar itu dan kemudian mengumumkan siapa-siapa saja yang masuk dalam daftar beasiswa. Ada namaku dalam urutan tersebut. Serta merta orang-orang yang menghadap ke kepala sekolah, membelokan pandangannya pada aku dan ayahku. Apalagi jika bukan pandangan melecehkan? Heh, seperti dunia miliknya saja!
            Sementara tanggapan Ayah? Lagi-lagi hanya mengangguk dan tersenyum. Seolah menampakkan bahwa ia pantas diperlakukan seperti itu, kemudian melemah tanpa perlu berkata apa-apa.
Di jalan, ketika hari pertama yang begitu memuakkan itu usai.
“Yah, aku ingin sepatu…,” kataku lirih.
“Ayah kan sudah janji, nanti Ayah belikan,” katanya dengan nada datar.
“Sepertinya jika kakiku ini dipakaikan sepatu, pasti tidak akan sama cara menatap mereka padaku. Iya kan, Yah?” aku tersenyum membayangkan bahagianya mengenakan alas kaki. Anggukanlah yang kemudian selalu menjadi jawaban atas keraguanku. Aku bosan dengan jawaban itu, namun entah anggukan itu selalu membuatku tenang.
Sesampainya di rumah yang lebih tepat dikatakan gubuk, Ayah pun pergi untuk bekerja serabutan. Entah, apa pekerjaan yang akan ia kerjakan hari ini.
“InsyaAllah hari ini Ayah akan belikan kamu alas kaki,” katanya dengan mengelus rambutku.
“Janji?” Aku suguhkan jari kelingkingku untuknya. Ia pun mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingkingku.
“Horreee...,” aku melonjak begitu senang.
***
Sudah larut malam, ayah belum pulang juga. Aku dan ibu menunggu cemas.
Tepat pukul 11 malam, ayah baru tiba di rumah. Dengan penuh wajah memar, dia mengucapkan salam. Sontak, aku, ibu dan kakak kaget menyaksikan wajah ayah yang memar bukan main.
“Ya Allah, Ayah kenapa?” Ibu panik bukan main.
“Tidak apa-apa, tenang saja…,” katanya dengan perasaan yang menurutku ditahan-tahan itu.
“Tidak apa-apa bagaimana? Pulang larut dengan muka bonyok seperti ini masih tidak apa-apa?” Kakak penuh nada heran.
“Sudah… sudah… Biarkan Ayah diobati dulu, nanti jika sudah tenang, baru bertanya,” kata Ibu dengan membawa kompresan dan kain untuk membalut luka memar di wajah Ayah. Sementara aku? Mulutku kaku bukan main, lidahku kelu tak seperti biasanya.
Dengan keadaan tenang, Ayahku pun bercerita, itupun karena kami yang memberondong ia dengan pertanyaan.
Ya Allah... Serta merta hatiku hancur, ketika mendapatkan kabar bahwa wajahnya hancur karena digebuki warga sekitar. Ayah dituduh mencuri sandal jepit masjid yang kebetulan sama barunya. Untungnya ada ustadz yang membantu mengamankan semuanya dan terbukti bahwa Ayah tak mencuri sandal masjid, melainkan membeli sendiri sandal jepit yang kebetulan merk-nya sama itu.
Dari sanalah aku bersyukur dengan perjuangannya. Dari sanalah aku berhutang budi karenanya. Aku harus membayar wajah memar Ayah dengan prestasiku. Aku janji. Saksikanlah tekadku!
***
Di sekolahku tak ada peraturan yang mewajibkan siswanya untuk menggunakan sepatu. Minimal alas kaki, sandal jepit pun tak masalah. Maklum, sekolah di kampung. Guru-guru pun mengerti akan kondisi ini.
Aku melangkah dengan pede-nya. Dan terbukti dengan kehadiran sandal jepit yang menghiasi kakiku kini, aku bersemangat dan setidaknya membuat orang-orang tak menatapku angkuh seperti semula.
Namun sayang, satu tahun berlalu, karena seringnya sandal jepit itu kupakai. Ia mulai menipis dan bolong tepat di ujungnya. Tanpa bisa kututupi, akhirnya pak Edi dan teman-temanku yang lain termasuk Dani, mengetahui akan hal ini. Mereka kembali mempermainkanku.
Aku pulang dengan tergesa. Kemudian kumengunci diri dalam kamar petak yang sempit. Ayah dan ibuku menyaksikan tangisanku yang terbawa angin, sesenggukan.
“Kenapa?” Ayahku mengetuk pintu. Ibu pun ikut memberondong bertanya.
“Ayo keluar dulu… Coba jelaskan ada apa?” Kata Ibu dengan nada lembut. Aku pun bersihkan air mata yang tak mau dihentikan lajunya itu, membersihkan ingusku yang ikut-ikutan keluar dan susah payah menahan agar tak terdengar senggukan itu. Aku keluar dengan wajah sembab.
“Kenapa tah?” Ayahku mengusap rambutku.
Aku tunjukan sendalku padanya. Sandal bolong itu.
“Oh, ini tah masalahnya? Nanti kalau Ayah punya rezeki lebih, Ayah belikan sandal baru, ya…,” kata Ibu dengan melirik Ayah. Ayah mengangguk, tersenyum mengusap air mataku.
“Tapi jangan habis manis sepah dibuang, ya…,” ayah nyengir bukan main.
“Eh?” Aku tak mengerti pribahasa ayah.
“Iya, jangan mau enaknya saja, tapi pas sandalmu bolong, langsung kamu buang,” kata Ibu menjelaskan.
“Oh… Lalu aku harus bagaimana?” Pertanyaanku ditertawakan oleh Ibu dan Ayah. Ayah menepuk-nepuk pundakku.
“Sini Ayah tunjukan…,” katanya menginstruksi
Aku dibawa pada halaman penuh pasir bolong-bolong.
“Nah, di sini kamu bisa gunakan sandalmu…,” ayah mengambil sandal bolong itu kemudian meniupkan udara pada bolongan tersebut. Muncullah makhluk aneh yang jalannya mundur-mundur.
“Waaah…,” aku melihat takjub.
“Itu namanya undur-undur. Dengan ini kamu bisa meniupkan udara dari mulutmu tanpa harus takut kotor.” Ayah tersenyum dan menyerahkan sandal bolong itu padaku dengan isyarat Cobalah… Aku pun mencobanya.
“Horeee… makhluknya pada keluar…,” aku tertawa menyaksikan undur-undur itu tersingkap dan berjalan mundur. Ayahku memang hebaaat! Batinku membenarkan.
Belum bahagia itu sirna dari hatiku. Malamnya, Ayah mengajakku ke sebuah ladang yang terbentang. Yang hanya ada rumput sebagai alas.
Ayahku pun tidur-tiduran di atas rumput tersebut. Aku mengikuti.
“Mana sandalmu?” Tanyanya.
Aku menyerahkan sandal itu.
Ia mendekatkan bolongan itu pada matanya. Kemudian berujar, “Fokus!”
“Nah, dengan begini, kau akan melihat bintang lebih fokus dan indah.”
“Waaah, seperti teropong bintang, ya, Yah?” Aku tergelak. Ayahku mengangguk tersenyum.
            “Coba…,” katanya mengasongkan sandal itu padaku.
Aku melihat bintang dengan sandal bolong tersebut. Seolah bintang bersinar, tersenyum mengedipkan dirinya padaku. Indah dan membawa getaran bernama bahagia.
Aku pun membidik bintang yang paling terang via sandal bolongku itu.
Kau ingin menggapaiku?” Bintang itu seolah berbicara padaku.
Gapailah aku dengan usaha dan prestasimu. Lihat Ayah-mu, pasti kau bisa!” katanya dengan nada sempurna. Diakhiri oleh pendaran yang tak akan mungkin bisa ku lupa.
Bukan seberapa mahal barang itu, namun seberapa berarti dan memberikan jasa pada kita, kan?
Ayah terimakasih… Sandal pemberianmu, memberikan berjuta makna…
Aku tersenyum menatap Ayah dengan bangga.
Annida online.com.14 Nov 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WRITERVATOR FIM 2023

EVALUASI FLS2N 2023 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN MOJOKERTO