TANTANGAN MERDEKA BELAJAR DAN GURU PENGGERAK
TANTANGAN
MERDEKA BELAJAR DAN GURU PENGGERAK
Oleh:
Saihur Roif
Peringatan
Hari Guru 2019 menjadi lebih menarik di kalangan pengamat dan praktisi
pendidikan. Hal ini terkait adanya kebijakan baru yang disampaikan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, yang juga biasa dipanggil Mas
Menteri dan menyampaikan kebijakan tentang merdeka belajar dan guru penggerak.
Sejatinya hal tersebut harusnya menjadi biasa apalagi ada tradisi di Indonesia
ini ada pergantian menteri ganti kebijakan. Hal tersebut sebenarnya baik,
sebagai penanda eksistensi sebuah kebijakan dalam memenuhi tuntutan zaman yang tak
dapat dipungkiri harus mengalami perubahan seiring perkembangan teknologi dan
modernisasi.
Wacana
dan harapan Mas Menteri akan kedua hal tersebut adalah sebuah idealita yang
hendak dicapai dan sesungguhnya sangat bagus. Namun sebenarnya belum banyak
yang memahami hal tersebut karena masih belum melihat secara mendalam. Sekilas
merdeka belajar seperti bermakna bebas belajar semaunya atau bebas tak
terbatas. Padahal yang dimaksudkan di sini merdeka belajar berarti memberi
kesempatan kepada sekolah dan siswa agar lebih nyaman belajar dan menentukan
kebijakan di tingkat sekolah dan menjadikan siswa lebih manusiawi. Merdeka
belajar meliputi kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian
Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajara (RPP) dan Zonasi.
Kebijakan
Mendikbud yang baru ini meliputi 4 aspek.
Pertama, mengubah USBN menjadi
asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Kedua, menghapus ujian
nasional. Ujian Nasional terakhir dilaksanakan pada tahun 2020 ini. Untuk tahun
2021 sudah tidak ada Ujian Nasional lagi karena dianggap kurang tepat dan
cenderung memberi beban yang berlebih kepada siswa ataupun guru. Ketiga,
perubahan ormat RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang biasanya berpuluh
lembar kini disederhanakan menjadi 1 lembar dengan tetap memberi ruang kreativitas
kepada guru untuk memberikan model dan metode terbaiknya kepada para siswa.
Keempat, perubahan zonasi yang dalam hal ini memberikan peluang yang lebih
besar kepada siswa yang mempunyai keunggulan atau prestasi lebih baik dapat
memiliki akses yang lebih besar dalam memilih sekolah yang diinginkan.
Semangat
merdeka belajar tersebut, dapat kita tangkap sebagai keinginan untuk mewujudkan
siswa dapat belajar maksimal bukan hanya di sekolah tetapi dapat menjadikan
lingkungan dan teknologi sebagai sumber belajar yang lebih luas. Di samping
itu, kekhawatiran dan tekanan mental akan ancaman Ujian Nasional selama ini
dapat dihindari. Sekolah memiliki format penilaian dan meluluskan siswanya
sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Dengan menyederhanakan format RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), dengan jargon RPP satu lembar,
memberi ruang kreativitas dan ekspresi mengajar sesuai dengan
kreativitas masing-masing guru. Ini tentu menjadi angin segar yang mampu
meringankan dan membebaskan guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Di
sisi lain, semangat merdeka belajar dengan mencantumkan asesmen kompetensi
minimal (literasi dan numerasi) dan survei karakter, menjadikan tantangan
tersendiri. Apalagi acuan yang tuju
adalah hasil survei Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) dan Trends in
International Mathematic and Science Study (TIMSS) juga Programme for
International Student Assessment (PISA) yang selama ini menempatkan kemampuan
siswa negara kita masih di bawah rata rata. Mengapa demikian? Setidaknya ada
dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, model pembelajaran kita yang memang
masih tidak merata antara satu sekolah dengan sekolah lain, khususnya yang ada
di perkotaan dan pelosok. Diakui atau tidak SDM (Sumber Daya Manusia) satu
daerah dan daerah lain masih mengalami kesenjangan. Kedua, fasilitas sekolah
satu dengan sekolah lain juga mengalami kesenjangan pula.
Kesenjangan
SDM (Sumber Daya Manusia) guru dan siswa menjadi tantangan dalam cakupan
geografis Indonesia. Sisi lain, tingginya tuntutan asesmen yang nantinya
dilaksanakan menjadi permasalahan tersendiri. Meskipun tak sedikit siswa Indonesia
mendapat prestasi tingkat internasional dalam beragam pelajaran, baik sains
maupun ilmu sosial, haal ini belumlah cukup karena sekolah tertentu saja yang
menjadi langganan juara yaitu sekolah yang memiliki kredibilitas dan fasilitas
yang sudah lebih lengkap. Sehingga, dalam proses pembelajarannya mampu
mendapatkan hasil yang membanggakan.
Kebijakan
menyederhanakan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dengan jargon RPP satu
lembar memiliki keunikan untuk memberi ruang kreativitas lebih besar kepada guru
dalam mengajar. Di sisi lain, hal ini juga menjadi tantangan, akankah dengan
menyusun RPP hanya satu lembar dapat menjadikan kualitas mengajar guru menjadi
lebih baik? Logika sederhana sebagai bandingannya, semakin banyak lembaran dan
detail RPP yang dibuat, hasilnya akan lebih baik dan variabel pencapaiannya
lebih terukur. Sedangkan RPP satu lembar bila benar-benar terwujud harus dapat
menggambarkan proses belajar mengajar yang sekian lama, sekian jam pelajaran. Dalam
konteks ini kemampuan dan kreativitas guru harus tinggi. Kesenjangan kualitas
SDM guru harus menjadi perhatian penting dari kemendikbud. Dengan demikian,
selain memperjelas maksud menyederhanakan format RPP, hal yang harus dilakukan
pemerintah adalah memberikan pelatihan dan peningkatan kualitas SDM guru dalam
mendidik.
Sedikit
perubahan kebijakan zonasi, memberi peluang baik kepada para siswa yang
memiliki kelebihan akan prestasinya untuk terus berkembang dengan memilih
sekolah yang diinginkan. Zonasi yang sebelumnya diberlakukan dengan persentasi
yang dipakai cenderung menempatkan siswa dari lingkungan sekolah tersebut untuk
bersekolah di sana tanpa bisa memilih. Jadi kalau ada daerah dengan kualitas SDM
yang terbatas, kualitas input siswanya ya sekualitas seperti itu. Memang pada
dasarnya semua anak memiliki hak yang sama, namun tak dapat dipungkiri bahwa
setiap siswa memiliki karakter dan keunggulan yang berbeda karena faktor
dukungan keluarga atau faktor lain yang mampu mengubah siswa menjadi lebih baik.
Meyikapi
kebijakan menteri baru tersebut, hal yang patut menjadi perhatian adalah guru
dan fasilitasi dari pemerintah. Siswa akan mampu belajar dengan maksimal ketika
mendapat arahan dari guru yang mampu memaksimalkan potensi siswa dengan
kreativitasnya. Siswa akan mampu memaksimalkan potensi belajarnya ketika fasilitas
yang dibutuhkan dapat ditemukan baik seccara alami ataupun disediakan dengan
kreativitas guru. Kesenjangan kualitas guru merupakan masalah yang harus
diselesaikan oleh pemerintah. Baik kualitas karena geografis yang kurang
terjangkau ataupun kualitas karena memang kualivikasi sdmnya perlu ditingkatkan. Kedua hal tersebut
menjadi tugas utama dalam rangka mewujudkan keinginan merdeka belajar dan guru
penggerak. Tak mungkin kualitas pendidikan dapat ditingkatkan tanpa
meningkatkan kualitas pendidiknnya. Karena kualitas pendidika menjadi kata
kunci kesuksesan pendidikan.
Memang
beberapa cerita kesuksesan seseorang yang bukan berasal dari pendidikan yang
terbaik sempat menjadi ukuran pendidikan, tetapi hal tersebut bukan menjadi
idealitas proses pendidikan. Kreativitas mengajar yang tinggi dari sang guru yang kemudian disebut sebagai guru
penggerak juga merupakan bentuk panggilan jiwa dari para guru untuk lebih mengutamakan
belajar siswa. Hal ini sesungguhnya memang layak diangkat oleh pemerintah serta
ditularkan sehingga kreativitas sang guru penjadi menyebar dan lebih
bermanfaat. Sisi lain, guru dengan kreativitas yang perlu ditingkatkan harus
menjadi perhatian pemerintah untuk diberikan pelatihan dan peningkatan
kapasitas mendidik. Maka mendengar jargon merdeka belajar dan guru penggerak
menjadi kabar baik bagi pelaksana pendidikan sekaligus menjadi tantangan untuk
peningkatan pelayanan pendidikan.
Komentar
Posting Komentar